PANDUAN LITURGI GPM
A.
PENGANTAR
Pergumulan untuk mewujudkan suatu
pembaruan tatanan peribadahan umat di GPM secara lebih relevan dengan kebutuhan
dan konteks keumatan pada satu pihak dan prinsip-prinsip teologi-liturgi pada
pihak lainnya, telah melahirkan pertimbangan keputusan di pelbagai aras
persidangan gerejawi (baik semenjak Persidangan XXXV Sinode GPM tahun 2005,
persidangan BPL, hingga persidangan XXXVI Sinode GPM tahun 2010) yang diikuti
dengan upaya bersama semua pihak, baik di tingkat Sinodal (melalui TIM LITURGI
GPM) maupun pelbagai saran dan masukan dari pelbagai pihak.
Sehubungan dengan itu, dipandang perlu adanya suatu
panduan liturgi yang bersifat umum (dan beberapa hal teknis) yang terkait
dengan hasil ketetapan persidangan sinode tahun 2010 terhadap 2 (dua) HIMPUNAN
LITURGI GPM yang terinci sebagai berikut:
Himpunan
I : Berisi kumpulan tentang beberapa Tata Ibadah yang secara regular digunakan
di GPM, yakni :
1. Tata Ibadah
Minggu I, II, III, IV, V
2. Tata Ibadah
Baptisan Kudus : Baptisan Anak dan Formula Baptisan Dewasa
3. Tata Ibadah Perjamuan Kudus : I, II dan
di Rumah
4. Tata Ibadah Penahbisan Pendeta
5. Tata Ibadah Penahbisan Penatua dan
Diaken
6. Tata Ibadah Peneguhan Sidi
7. Tata Ibadah Pemberkatan Nikah
8. Tata Ibadah Pemakaman
9. Tata Ibadah
Unit : Minggu I, II, III
10. Tata Ibadah Sektor
11. Tata Ibadah
Pengasuh SM TPI : Model I dan II.
Sedangkan
Himpunan II: Berisi kumpulan tentang:
1. Tata Ibadah Peletakan batu Penjuru
Gedung Gereja
2. Tata Ibadah Peresmian Gedung Gereja
3. Tata Ibadah Peresmian Menara Lonceng
4. Tata Ibadah Peresmian Pastori Jemaat
5. Tata Ibadah
Pemekaran dan Pelembagaan Jemaat
6. Tata Cara Pelantikan
Tuagama/Pengasuh/Pengurus Unit dan Sektor
7. Tata cara Emeritasi Pendeta
8. Panduan Teknis Liturgi
B.
BEBERAPA CATATAN
PRINSIP TENTANG LITURGI
1.
Pengertian Liturgi
Pada umumnya, kata liturgi biasanya digunakan
sehubungan dengan perayaan ibadah Kristen. Kata itu sebenarnya berasal dari
kata asing yang telah diindonesiakan. Kata-kata asing yang dimaksud di sini tidak
jarang ditemukan penggunaannya di dalam
perayaan ibadah-ibadah Kristen, misalnya leiturgia, synaxis,
eucharistia (Yunani), officum, servis, missa (Latin); avodah (ibrani);
bhakti (Sansekerta); worship (Inggris); Gottesdienst, dienst
(Jerman atau Belanda). Semua kata tersebut mempunyai arti yang sama untuk
menunjuk pada perayaan ibadah. Kata ‘ibadah’ sendiri berasal dari bahasa Arab ebdu
(hamba: sama artinya dengan kata Ibrani, abodah / avodah)
yang artinya adalah perbuatan untuk menyatakan
bakti kepada Tuhan.
Kata Liturgi berasal dari bahasa Yunani “Leiturgia” leit
(leos, laos) yang berarti rakyat dan ergon yang berarti
pekerjaan/perbuatan. Kata kerja yang digunakan adalah leiturgeo (λειτουργεω), yang artinya melayani, melaksanakan dinas atau tugas, memegang
jabatan. Leiturgia ialah kegiatan kerja
untuk kepentingan masyarakat. Pengertian ini menunjuk pada perbuatan sukarela,
biasanya dilakukan oleh orang-orang kaya atau terkenal, sehingga terwujud bakti
sosial untuk kepentingan kota dan masyarakat umum. Istilah laos sendiri masih berhubungan
dengan kata-kata Inggris lay (awam) dan work (pekerjaan).
Ada lima rumpun besar
dalam liturgi :
1. Rumpun Menghadap Tuhan
2. Pelayanan Firman
3. Respon Umat
4. Pelayanan Meja
5. Pengutusan dan Berkat
Dalam lima rumpun besar itu terdapat unsur-unsur
liturgi:
Pertama, Rumpun Menghadap Tuhan terdiri dari beberapa
unsur, yaitu :
-
Votum
dan Salam
-
Introitus
(Nyanyian Masuk)
-
Pengakuan
Dosa
-
Pengampunan
Dosa
-
Petunjuk
Hidup Baru
Kedua, Rumpun Pelayanan Firman yang terdiri dari
beberapa unsur yaitu :
-
Epiklese
(Doa Pembacaan Alkitab)
-
Pembacaan
Alkitab
-
Khotbah
Ketiga, Rumpun Respon Umat yang terdiri dari :
-
Pengakuan
Iman
-
Persembahan
Syukur
-
Doa
Syafaat
Keempat, Rumpun Pelayanan Meja yang terdiri dari :
-
Rumpun keempat ini hanya
dilaksanakan ketika ibadah Perjamuan Kudus.
Kelima, Rumpun Pengutusan dan Berkat yang terdiri
dari:
-
Pengutusan
-
Berkat
2. Dimensi Penting dari
Ibadah Kristiani
Ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam memahami liturgi
(ibadah kristen), antara lain:
a.
Liturgi adalah “tempat” di
mana Allah bertemu (“berdialog”) dengan jemaat dan jemaat bertemu dengan Allah.
Pertemuan ini tidak terbatas hanya di gedung gereja pada hari Minggu, tetapi
juga berlangsung di tenpat-tempat lain di rumah, di sekolah, di kantor, di
tempat-tempat pekerjaan anggota-anggota jemaat masing-masing pada hari-hari
kerja. Dalam pertemuan itu berlangsung “dialog” antara Allah dan jemaat, dimana
Allah berfirman dan jemaat menjawab, Allah memberi dan jemaat menerima dan
mengucap syukur, Allah mengampuni dan jemaat memuji nama-Nya. Atas dasar itu,
liturgi pertama-tama adalah prakarsa Allah yang menyelamatkan manusia dan dunia
pada satu sisi dan respons jemaat kepada-Nya pada sisi yang lain (Kel. 15, Yoh.
3:15). Dengan demikian, Pendeta/Majelis jemaat/pelayan Liturgi tidak boleh
mengambil tugas jemaat dalam dialog itu. Jemaat sendiri yang harus
melakukannya. Ia sendiri yang harus menjawab, mengucap syukur, menyanyi,
berdoa, dll. Konkritnya, jemaat harus mendapatkan kesempatan untuk turut
mengambil bagian dalam ibadah jemaat.
b)
Liturgi adalah tindakan
langsung manusia kepada Allah. Gereja tidak beribadah kepada manusia dan
program atau aktivitas agama, tetapi kepada Allah yang kepada-Nya kita
beribadah, dan Allah yang kepadaNya seluruh akta atau tindakan liturgi langsung
kepada-Nya (Kel. 20:5; Ul. 5:9;
I Sam. 12:20). Apabila kita bernyanyi satu nyanyian pujian, mengaku iman, berdoa, maka itu di alamatkan terutama kepada Allah.
I Sam. 12:20). Apabila kita bernyanyi satu nyanyian pujian, mengaku iman, berdoa, maka itu di alamatkan terutama kepada Allah.
c)
Sehubungan dengan itu
liturgi tidak berpusat pada dirinya sendiri tetapi kepada Allah (= Firman).
Oleh karena itu, hakikat dari Liturgi yang dilakukan haruslah menempatkan fokus
pada FIRMAN (Mimbar) sebagai pusat dari segala aktivitas liturgis.
d)
Liturgi adalah suatu
pemberian kepada Allah (Kej. 4:3-5). Liturgi menuntut pengakuan bahwa segala
sesuatu datang dari Allah (Wahyu 4:11). Oleh sebab itu, Liturgi juga menuntut bahwa
segala sesuatu harus dikembalikan kepada Allah.(Yes.43:7;Yer.13:11;Maz.150:6;
Ef. 1:12; I Pet. 2:9). Tuhan membuat segala sesuatu untuk tujuannya masing-masing (Ams. 16:4).
Ef. 1:12; I Pet. 2:9). Tuhan membuat segala sesuatu untuk tujuannya masing-masing (Ams. 16:4).
e)
Liturgi adalah tindakan
partisipasi seluruh umat. Ibadah jemaat dirayakan dengan orang lain, sebab
ibadah adalah sesuatu yang tidak dilakukan untuk jemaat, tetapi oleh jemaat.
Karena itu, liturgi menuntun untuk melibatkan semua bagian dari peserta ibadah,
sebab gereja sebagai satu persekutuan, sudah tentu membutuhkan adanya
partisipasi aktif dari seluruh anggotanya. Dengan kata lain, masing-masing
orang percaya adalah peserta aktif, bukan saja dalam nyanyian-nyanyian, tetapi
juga dalam doa syafaat, pengakuan dosa, pengakuan iman, pembacaan Alkitab, dll.
Semua itu harus dilakukan oleh umat sendiri. Gereja membutuhkan sumbangan dari
masing-masing orang seperti halnya tubuh bergantung pada fungsinya
masing-masing bagian yang lain
(I Kor. 12:12-30). Dalam konteks ini pula segala sesuatu dalam ibadah haruslah dilakukan dengan tertib (adanya suatu penataan) dan sopan demi membangun jemaat.
(I Kor. 12:12-30). Dalam konteks ini pula segala sesuatu dalam ibadah haruslah dilakukan dengan tertib (adanya suatu penataan) dan sopan demi membangun jemaat.
f)
Liturgi adalah kegiatan
perayaan. Di dalam Alkitab, semua yang diciptakan dipanggil untuk memuji Tuhan
(memestakan) karena perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib dan dahsyat. Dalam
perayaan itu ada suatu “peringatan” (anamnesis)
menyatakan suatu hubungan antara masa lampau dan masa kini. Peringatan atau
“kegiatan untuk mengingat” adalah suatu kegiatan yang tak terbatas pada
intelektual, tetapi melibatkan seluruh keberadaan seseorang yang digerakan
untuk melakukan sesuatu oleh karena kehadiran kembali dari masa lampau itu.
Peringatan tidak dapat lepas dari perbuatan. Konsep mengingat dan merenungkan
tindakan penyelamatan Allah adalah dasar liturgi Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru (Kej.19:29; Kel. 2:24-25; Maz. 77:12a;
I Kor. 11:23). Di dalam perayaan itu, selain merenungkan masa lalu (Karya Allah) juga umat mengharapkan akan masa depan (Kel.6:7). Jadi Liturgi tidak saja di dasarkan pada peristiwa karya penyelamatan Allah di masa lalu, tetapi juga di dalam satu tindakan pengharapan akan masa depan.
I Kor. 11:23). Di dalam perayaan itu, selain merenungkan masa lalu (Karya Allah) juga umat mengharapkan akan masa depan (Kel.6:7). Jadi Liturgi tidak saja di dasarkan pada peristiwa karya penyelamatan Allah di masa lalu, tetapi juga di dalam satu tindakan pengharapan akan masa depan.
g) Liturgi adalah kegiatan rekreasi (ciptaan kembali) yakni suatu pertemuan
dengan Kristus yang menjadikan umat diperbarui dari hidup yang lama menjadi
hidup yang baru (II Kor. 5:17). Oleh karena itu, liturgi tidak hanya merupakan
refleksi dari kenyataan kehidupan kita sekarang, tetapi juga merupakan satu
proyeksi sebelum kedatangan Tuhan. Dengan demikian, liturgi adalah satu kegiatan
dalam pengharapan.
h)
Liturgi
pada hakikatnya adalah kerja. Dan kerja adalah liturgi. Liturgi sebagai suatu
istilah teologis tidak hanya mengacu pada “Ibadah Gereja” atau Tata kebaktian/
tata ibadah, tetapi liturgi berarti bekerja untuk kepentingan orang banyak,
melayani, melaksanakan dinas atau tugas, memegang jabatan. Dalam hubungan itu,
gereja mengaku bahwa liturgi tidak hanya berorientasi pada “ibadah gereja” atau
“tata kebaktian/tata ibadah” (ibadah ritual), tetapi liturgi juga suatu
pelayanan kemanusiaan terhadap sesama dan dunia (ibadah sosial). (Band.Luk. 23:34-43; Mat. 5:23-24; Roma 12:1).
Dengan
demikian, Liturgi sebetulnya mengandung makna yang luas dan mendalam terkait dengan wujud relasi dan interaksi manusia dengan Tuhan
yang disembahnya maupun manusia dengan sesama dan lingkungan alam (konteks) di
mana manusia itu berada.
Dalam kaitan itu,
di GPM kita menggunakan 3 istilah teknis terkait dengan Liturgi GPM, yakni:
·
Tata Ibadah, sebagai istilah teknis yang terkait dengan
tata, aturan, urutan yang digunakan dalam ibadah-ibadah ritual di GPM.
·
Tata Busana liturgis, sebagai istilah teknis terkait
dengan tata atau aturan atau cara berbusana yang digunakan dalam setiap ibadah
ritual.
·
Tata Ruang liturgis, sebagai istilah teknis terkait
dengan tata atau aturan mengenai ruang liturgis di setiap gedung gereja.
C.
BEBERAPA CATATAN TERHADAP TATA IBADAH, TATA BUSANA DAN
TATA RUANG LITURGIS GPM
C.1 Tata Ibadah GPM
Ada
beberapa hal penting yang perlu dijelaskan terkait dengan himpunan tata Ibadah
GPM:
(a). Tata
Ibadah yang dibuat dan diputuskan pada Persidangan XXXVI Sinode GPM tahun 2010
hanya terkait dengan ibadah-ibadah Jemaat, Unit dan Sektor pelayanan yang
secara reguler dilaksanakan setiap waktu di seluruh jemaat di GPM. Dalam kaitan
itu perlu dijelaskan bahwa tata Ibadah Wadah Pelayanan Perempuan dan Laki-laki
tidak ditampung di dalam kumpulan tata Ibadah ini karena dibuat dan diterbitkan
sendiri oleh Departemen Keesaan cq. Biro masing-masing. Seluruh Tata Ibadah
disusun berdasarkan prinsip-prinsip: Universal, kegunaan, kesederhanaan,
fleksiblitas dan partisipatoris. Tata Ibadah tersebut yakni :
(1). Tata Ibadah Minggu I, II, III,
IV, V.
· Tata Ibadah
Minggu V, hanya berisi unsur liturginya. Muatannya diserahkan kepada setiap
Pelayanan khusus di jemaat masing-masing, namun harus tetap memperhatikan ciri
khas peribadatan GPM yang sesuai dengan ajaran gereja.
(2) Tata Ibadah Baptisan
Kudus untuk Anak
Bila
ternyata baptisan kudus bertepatan dengan hari raya gerejawi atau momen
gerejawi sesuai kalender liturgi, maka tata ibadah yang digunakan tetaplah tata
ibadah baptisan kudus untuk anak,
sedangkan stola yang digunakan adalah stola yang seusai dengan momen gerejawi
yang sedang dilaksanakan. Contohnya: bila baptisan terjadi pada minggu adventus
pertama, maka tata ibadah yang digunakan bukan tata ibadah khusus perayaan
minggu adventus, melainkan tata ibadah baptisan anak. Namun warna liturgi yang
digunakan baik pada stola dan kain penutup mimbar serta meja persembahan, harus
tetap disesuaikan dengan momen liturgi adventus pertama yakni biru, bukan
putih.
(3) Tata Ibadah
Peneguhan Sidi dan Formulir Baptisan
Dewasa (Kristen dan alih agama)
· Dalam
sidang BPL Kairatu tahun 2008, telah diputuskan, untuk Baptisan Dewasa harus
dilakukan setelah yang bersangkutan menjalani katekisasi. Karena itu, Baptisan
dewasa dilakukan dalam ibadah peneguhan Sidi, setelah yang bersangkutan mengaku
imannya.
(4) Tata Ibadah Perjamuan Kudus I, II
dan Perjamuan Kudus di Rumah.
· Khusus
untuk liturgi Perjamuan Kudus di Rumah, titah dan makna perjamuan kudus ditambahkan
agar unsur pemahaman teologis tetap dapat dihayati oleh umat
(5) Tata Ibadah Peneguhan dan
Pemberkatan Nikah
(6) Tata Ibadah
Pemakaman
· Ibadah
Syukur di rumah duka adalah bagian dari keseluruhan ibadah pemakaman. Karena
itu, setelah kembali dari ibadah di Kuburan, maka dilanjutkan dengan menyanyi
sebuah lagu dan berdoa syukur saja.
(7) Tata Ibadah Unit Minggu I, II,
III
· Tata Ibadah
Unit Minggu IV tidak dibuat karena sudah ada panduan
meditasi. Demikian pula minggu V diberikan ruang kepada pendeta jemaat dan
pelayan khusus lainnya untuk mengembangkan tata ibadah sendiri sesuai kondisi
jemaat masing-masing.
(8) Tata Ibadah Sektor
(9) Tata Ibadah Penahbisan Pendeta
(10) Tata Ibadah Penahbisan Penatua
dan Diaken
(11) Tata Ibadah Peletakan Batu
Pertama Gedung Gereja dan pastori
(12) Tata Ibadah Peresmian Gereja,
Pastori dan Menara Lonceng
·
Ibadah peresmian pastori dapat dilakukan sesuai kondisi
yakni pertama, ibadah berlangsung dalam gedung gereja dan pada bagian akta
peresmian baru kemudian menuju pastori untuk melanjutkan ibadah sampai selesai
ibadah. Kedua, bisa dilakukan dari awal ibadah sampai selesai pada depan
pastori. Ketiga, ibadah berlangsung di gedung gereja samapai selesai baru
kemudian ke pastori.
(13) Tata Ibadah Pemekaran
dan Pelembagaan Jemaat.
(14) Tata Cara Pelantikan
Tuagama/Pengasuh SM TPI/Sub Komisi/Pengurus Unit/Sektor /Panitia Gerejawi
(15) Tata Cara Emeritasi Pendeta.
(b) Tata ibadah
lainnya yang tidak tertampung dalam kumpulan tata ibadah ini, adalah menjadi
tanggung jawab pendeta Jemaat dan para pelayan khusus di jemaat masing-masing.
Hal ini dimaksudkan agar para pendeta dan pelayanan khusus lainnnya dapat
mengembangkan kreatifitas dan inovasi liturgi yang kontekstual sesuai dengan
kebutuhan konteks riil masing-masing jemaat.
(c) Terkait
dengan permintaan untuk membuat Tata Ibadah Pelantikan Raja tidak ditampung
dalam kumpulan tata ibadah ini. Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa
Raja atau Kepala Desa adalah pejabat negara. Karena itu, tidak perlu
ditahbiskan oleh gereja. Raja dilantik oleh aparatur negara yang berwewenang,
dan para Rohaniawan (termasuk pendeta) biasanya diminta untuk terlibat dalam
proses pengukuhan. Karena itu, jemaat bisa melakukan ibadah pengucapan syukur
di rumah, atau di gereja. Tata ibadahnya dibuat oleh pendeta jemaat sesuai
kondisi jemaat/desa masing-masing.
C.2. UNSUR-UNSUR LITURGI:
C.2.1.
Nas Pembimbing juga disesuaikan dengan tahun-tahun gerejawi.
C.2.2 Majelis bertugas hanya berjabat tangan dengan
pelayan saat ke mimbar tanpa penyerahan Alkitab.
Kalau penyerahan Alkitab dilihat sebagai fungsi penyerahan tugas
pemberitaan, maka itu telah dilakukan saat pelayan ( pdt, pnt dan Dkn )
ditahbiskan.
C.2.3. Mempersiapkan
ibadah itu sangat penting, untuk itu diharapkan agar disediakan satu hari
khusus sebagai hari persiapan ibadah Minggu dan melibatkan seluruh unsur yang
melayani ibadah
( PS/VG/Dut/Solo/Pembaca Firman, dll ), dan tidak digunakan untuk
aktifitas lainnya.
C.3 Tata Busana Liturgis GPM
Kebanyakan gereja-gereja Kristen di
Indonesia mengenal Busana Liturgis sebagai semacam pakaian jabatan.. Fungsinya
tidak begitu jelas. Tetapi dalam praktik Gereja-gereja ini, khususnya di GPM, secara
sadar atau tidak sadar kebanyakan para pelayan khusus menganggapnya sebagai
Pakaian Jabatan atau Pakaian Liturgis resmi.
GPM, melalui Tata Gereja tidak lagi mengakomodir
istilah jabatan untuk pelayan gereja (pelayan khusus), karena pejabat terkesan mengandung
unsur kekuasaan. Istilah pelayan berorientasi untuk melayani (lebih gerejawi).
Oleh karena itu, terkait dengan tata busana, maka istilah yang lebih tepat
digunakan adalah bukan pakaian jabatan, melainkan pakaian pelayanan (busana
liturgis).
C.3.1 Pakaian
Liturgis/Pelayanan Pendeta
(a) Pengertian :
Yang dimaksud dengan pakaian pendeta
adalah pakaian liturgis dalam bentuk TOGA, yaitu jubah berwarna hitam yang
dikenal pula sebagai jubah Jenewa, dan JAS warna hitam dengan kemeja hitam
(atau warna lainnya yang sesuai dengan warna liturgis) dan colar putih.
(b) TOGA :
b.1 Warna Toga =
(a) Warna Hitam
(karena pertimbangan historis, kultural dan praktis)
(b) Warna Putih (sebagai warna yang dapat
dijajagi)
b.2 Model dan
Asesoris Toga =
(a) Dengan 12 Knop
(Sebagai simbol kemuridan/kerasulan) = 6 di pundak kiri,
6 dipundak kanan
6 dipundak kanan
(b) Mengenakan Bef warna putih yang berbentuk “T” (dimaknai
Theos) dan Ekor Ikan (Ichtus = Kristus)
(c) Mengenakan
Salib Putih berukuran kecil yang ditempatkan di dada kiri (dipakai dengan Jas
ketika menghadiri undangan-undangan resmi dalam pelayanan tertentu).
(d) Mengenakan
Stola ketika terlibat sebagai pelayan liturgis (warna disesuaikan dengan
hari-hari gerejawi).
b.3 Ukuran
Toga =
(a) Batas bagian
panjang ke bawah, diukur hingga di atas mata kaki (25 cm dari telapak kaki)
(b) Batas bagian
panjang lengan, diukur hingga pada pangkal telapak tangan (telapak tangan harus
terlihat)
b.4 Penggunaan Toga =
(a) Indoor
(a.1) Dalam Ibadah
minggu
(a.2) Dalam Ibadah
Pernikahan
(a.3) Dalam Ibadah
lainnya yang sesuai kebutuhan liturgi (kondisional)
(b) Outdoor
(b.1) Dalam Ibadah
Pelantikan / Pengambilan Sumpah
(b.2) Dalam Ibadah
Peresmian
(b.3) Dalam ibadah
lainnya yang sesuai kebutuhan liturgis (kondisional)
(c) Jas dan Kolar
(berasal dari bahasa Inggris collar
artinya kerah) :
c.1 Warnanya = Hitam dengan kolar putih di bagian leher
c.2 Modelnya = Jas lengan panjang, yang disesuaikan tanpa
pernak-pernik jahitan yang berlebihan
c.3 Ukurannya = Disesuaikan dengan setiap pemakai
c.4 Penggunaan Jas dan Kolar
(a). Saat
menghadiri undangan resmi yang berlangsung di dalam maupun di luar ruang, dan
dalam kapasitas jabatan pendeta yang bersangkutan.
(b). Pelayanan
ibadah/doa yang disesuaikan dengan konteks ibadah/acara.
C.3.2 Pakaian Penatua dan Diaken
C.3.2.1Pengertian :
Yang
dimaksud dengan pakaian penatua dan
diaken adalah pakaian liturgis yang ditentukan untuk digunakan oleh
penatua/diaken yang mendapat kepercayaan untuk menjalankan tugas pelayanan
dalam setiap ibadah Minggu atau ibadah jemaat/ acara ritual lainnya yang
disesuaikan dengan konteks acara.
C.3.2.2 Bentuk dan Warna:
(a) Pria = Kebaya Hitam, Baniang Putih dan stola yang
berwarna sesuai tahun gerejawi.
(b) Wanita = Baju Hitam, Kain Pikol dan stola yang berwarna
sesuai tahun gerejawi.
C.3.3. Stola
C.3.3.1. Pengertian
:
Kata
Latin Stola berasal dari kata Yunani Stole, yang artinya pakaian.
Pengertian aslinya ini merujuk pada Tatanan atau Perlengkapan Kain Lap yang
digunakan Yesus Tatkala membasuh kaki murid-murid-Nya, dan merupakan simbol, tanggung jawab pelayanan.
C.3.3.2 Ukuran,
Bentuk, Warna dan Penggunaan:
(a) Ukuran, bentuk,
warna dan jenis kain stola diharuskan merujuk pada jenis stola yang dikeluarkan
oleh Sinode GPM, cq. Tim Liturgi Sinode GPM
(b) Stola merupakan
bagian dari busana pelayan liturgis. Oleh karena itu, yang memakainya adalah mereka (Para Pelayan khusus yang menerima
penumpangan tangan, dalam hal ini Pendeta, Penatua, dan Diaken) yang bertugas
selama pelayanan Ibadah tertentu.
(c) Stola dikenakan
oleh pelayan dengan busana/pakaian liturgis/pelayanan (pendeta/
penatua/diaken), sebagaimana yang telah ditentukan
(d) Khusus untuk
penahbisan Pendeta atau Penatua-Diaken, Stola yang dipakai akan dikenakan pada
momentum penahbisan (lihat Tata-ibadah), bukan di konsistori.
(e) Stola dikenakan
bukan di dekat kaki mimbar sebelum pelayan ke mimbar, melainkan telah dipakai
saat persiapan di konsistori
(f) Oleh karena Stola bermakna
tanggung jawab pelayanan liturgis, maka terkait dengan penggunaannya, dapat
digunakan dalam pelayanan ibadah jemaat, baik ibadah Minggu dan ibadah jemaat
lainnya berdasarkan kalender gerejawi/tahun liturgis dan ibadah khusus (seperti
pelayanan duka/pemakaman), baik yang berlangsung di dalam maupun di luar gedung
gereja.
(g) Posisi logo
dalam penggunaan stola yang bermotif salib adalah di
sebelah kanan pemakai. Hal itu didasarkan pada pertimbangan teologis bahwa
”Salib” adalah simbol sentral dalam
kekristenan yang menunjuk kepada kematian Yesus Kristus di kayu salib di
Golgota. Bentuk historis alat eksekusi tersebut dengan kemungkinan besar adalah
bentuk “T” (salib “Tau”), dan kemudian menjadi salib yang kita kenal (biasanya
disebut “salib Latin”). Tanda salib atau silang telah dikenal dalam banyak
budaya dan agama pra-Kristen dengan berbagai makna, a.l. kekekalan,
kesempurnaan atau hubungan kosmis antara dunia dan yang transenden, tetapi juga
sebagai tanda perpisahan dll. Salib dalam tradisi Kristen menjadi simbol
kematian dan kehidupan. Salib mencerminkan solidaritas Allah dengan manusia
dalam penderitaan dan merupakan puncak. Berdasarkan tradisi ketimuran, sebelah
Kanan selalu punya indikasi makna
penghormatan atau penghargaan (yang terbaik)
Sedangkan simbol-simbol (icon) yang lain (Bintang Segi Enam, ikan, Alfa-Omega, Chi-Rho, Logo
GPM) awalnya di bagian sebelah kanan dipindahkan ke kiri depan si pemakai. Ini
tidak berarti bahwa icon-icon ini tidak penting.
(h) Apabila ibadah
yang berlangsung bertepatan dengan momen Baptisan, Pernikahan, Persidangan,
liturgi yang digunakan adalah liturgi terkait dengan momen tersebut, namun
pilihan warna stola tetap mengikuti warna tahun gerejawi pada saat momentum
tersebut berlangsung. (lihat catatan/ NB. Di bawah)
(i) Selanjutnya,
penggunaan Stola dalam tahun liturgis gerejawi maupun non tahun gerejawi,
sesuai warna stola, diuraikan sebagai berikut:
NO
|
WARNA & LOGO
|
PENGGUNAAN
STOLA DALAM
KALENDER
TAHUN GEREJAWI DAN
NON
TAHUN GEREJAWI
|
||
1.
|
BIRU
|
1.
|
Tahun Gerejawi
|
|
(Logo :
Bintang segi enam dan salib bermotif cengkeh,
dll.
|
1.1
|
Minggu Adventus I, II,
dan IV (Minggu III lihat point 6)
|
||
1.2
|
Ibadah Persiapan Natal
(24 Desember)
|
|||
2.
|
PUTIH
|
1.
|
Tahun Gerejawi
|
|
(Logo:
Ikan dan Salib
bermotif mutiara)
|
1.1
|
Ibadah Natal (25 Desember) – sampai Epifani
|
||
1.2
|
Ibadah Konci Taong (31
Desember)
|
|||
1.3
|
Ibadah Kamis Putih
|
|||
1.4
|
Ibadah Paskah
|
|||
1.5
|
Ibadah Kenaikan
|
|||
2.
|
Non Tahun Gerejawi
|
|||
2.1
2.2
|
Ibadah Pernikahan
Ibadah Baptisan Kudus
|
|||
2.3
|
Ibadah
HUT (Kelahiran, Pernikahan, Organisasi, Kemerdekaan, dll)
|
|||
2.4
2.5
|
Ibadah Penahbisan (Pendeta/ Majelis) Ibadah
Peresmian gedung / Fasilitas Gerejawi
|
|||
3.
|
HIJAU
|
1.
|
Tahun Gerejawi
|
||
(Logo
: Lambang Oikoumene dan Lambang GPM
|
1.1
|
Ibadah Minggu setelah Epifania (6 Januari) sampai sebelum Minggu
Sengsara
|
|||
1.2
|
Ibadah Minggu Biasa
|
||||
4.
|
UNGU
|
1.
|
Tahun Gerejawi
|
||
(Logo : Alfa-Omega dan Salib bermotif Daun Sagu)
|
1.1
|
Ibadah
Minggu Sengsara I,II,III,V,VI,VII (Minggu
Sengsara IV lihat point 6)
|
|||
1.2
|
Ibadah Rabu Abu
|
||||
1.2
|
Ibadah Jumat Agung
|
||||
2.
|
Non Tahun Gerejawi
|
||||
2.1
|
Ibadah perjamuan kudus
|
||||
2.2
|
Ibadah Kedukaan /
Pemakaman
|
||||
5.
|
MERAH
|
1.
|
Tahun Gerejawi
|
||
(Chi-Rho dan Salib
bermotif Obor Bambu
|
1.1
|
Ibadah Pentakosta
|
|||
2.
|
Non Tahun Gerejawi
|
||||
2.1
|
Ibadah Persidangan /
Serimoni Gerejawi
|
||||
2.2
|
Ibadah Emeritasi
Pendeta
|
||||
2.3
|
Ibadah Pelembagaan
Jemaat
|
||||
6
|
MERAH MUDA
(logo: Salib bermotif
Lola dan Lilin bermotif Taripang)
|
1.
|
Tahun gerejawi
|
||
1.1
|
Minggu Sengsara V
(adalah minggu leitare : bersukacitalah)
|
||||
1.2
|
Minggu Adventus III
(adalah minggu gaudete : bersukacitalah)
|
||||
NB : 1. Bentuk
logo, ukuran, dan makna warna dapat dilihat pada matriks stola sebagaimana yang
ditetapkan oleh Sidang BPL di Tual dan disosialisasikan.
2. Apabila
warna stola yang ditentukan (misalnya Baptisan, Persidangan) berbeda dengan
warna tahun gerejawi, maka pilihan warna stola tersebut mengikuti warna tahun
gerejawi pada saat momentum tersebut berlangsung. Misalnya Ibadah Baptisan atau Penahbisan Gereja, seharusnya menggunakan
Stola berwarna putih, namun karena waktu pelaksanaannya pada Minggu Sengsara
maka stola yang digunakan adalah stola berwarna UNGU (kecuali MS V warna Merah
Muda). Ketentuan ini dikecualikan bagi Ibadah Pemakaman dan Perjamuan Kudus
(yang tetap mengenakan warna UNGU).
C.3.3.3.
Arti Ikon Pada Stola GPM
·
Bintang : Mengingatkan kita pada
Bintang Bethlehem yang membritakan kelahiran Tuhan Yesus (Mat.2). Bintang yan
memancarkan cahaya Kehidupan; yang menjadi
petunjuk dan pengarah bagi orang-orang Majus yang mencari Bayi Yesus Kristus Sang Penyelamat
Keturunan Daud yang telah lahir di Bethlehem
Tanah Yudea. Karena
itu bintang disebut juga bintang Daud.
·
Ikan : Ikan adalah lambang kekristenan yang
tertua. Aksara Yunani Ikhtus; diterima sebagai akrostik untuk Iesous Khristos
Theou Huios Soter, artinya Yesus Kristus Anak Allah Juruselamat. Ikan juga mengingatkan kita pada latar belakang
kehidupan para murid Yesus, yaitu dari penjala ikan (nelayan) dipanggila
menjadi penjala manusia.
·
Perahu Oikumene : Simbol dari gereja sebagai bahtera yang
mengarungi samudera dunia untuk memberitakan Injil Keslamatan Yesus
kristus.
·
Alfa – Omega : Istilah teologis yang berarti “awal”
dan “akhir” (Why. 1:8; 21:6; 22:13). Istilah itu berasal dari huruf-huruf
pertama dan terakhir Yunani. Alfa dan Omega ini juga menunjuk pada aktivitas
Allah dan Kristus dalam menjadikan dan menyelamatkan dunia.
·
Chi – Rho : Simbol dari Kristus yang tersalib
(Pengorbanan Kristus di Salib). Arti icon-icon dalam bentuk salib yang bermotif
Mutiara; Cengkih; Daun Sagu; Bambu; dan
logo GPM; posisinya yang semula di sebelah kiri, namun pada Sidang Sinode ke-36
tahun 2010, telah ditetapkan untuk dialihkan ke sebelah kanan. (lihat
penjelasan poin 2.2.3.2.f).
·
Salib : Sebenarnya adalah simbol kekristenan
yang paling hakiki yang memberi arti Pada
penderitaan dan pengorbanan Kristus yang mati dan bangkit untuk keselamatan manusia dan dunia. Salib itu yang mesti diberitakan kepada
dunia melalui hidup, karya dan pelayanan semua orang percaya.
·
Logo GPM : Diinspirasi I Korintus 3:6. Memberi
makna bagi Gereja yang terpanggil untuk
bersaksi dan membritakan Injil Kerajaan Allah di bumi melalui pekerjaan menanam dan menyiram, tetapi Allah
yang memberi pertumbuhan.
C.3.4.
Pakaian Prokantor/kantoria/ singers dan Kolektan
Sebagai pendukung
liturgi, perlu juga ditegaskan agar pemimpin dan pendukung nyanyian jemaat,
serta kolektan juga harus menggunakan busana yang sopan. Oleh sebab itu
masing-masing jemaat dapat mengusahakan pengadaan pakaian yang khusus digunakan
dalam ibadah jemaat.
C.4. Warna-Warna
Liturgi dan Tahun-Tahun Gerejawi
C.3.1 Arti Warna-warna
Liturgis
a) Ungu adalah warna klasik yang dipakai sebagai simbol penyelamatan
manusia oleh Kristus. Warna ini juga sering
dikaitkan dengan pertobatan dan pengampunan dosa, kedukaan, dan keagungan kasih
Allah di tengah jalan penderitaan.
b) Putih
dan keemasan adalah simbol dari cahaya yang bersinar setiap hari atau yang
menerangi dunia. Juga dikaitkan dengan sukacita, kemenangan, kebebasan, dan
kemurnian (purity). Putih terkandung arti memberi harapan.
c) Hitam
adalah warna tradisional sebagai simbol kedukaan dalam beberapa budaya
masyarakat (termasuk Maluku, namun warna ini belum diberlakukan untuk warna
stola karena warna dasar dominan pakaian jabatan liturgis GPM adalah warna hitam).
d) Merah
adalah lambang dari darah. Dalam penggunaannya di abad 12, menunjuk pada
pengurbanan Martir, yang juga dikaitkan dengan kematian Yesus di Salib. Merah
juga adalah simbolisasi dari api, dan karena itu menjadi warna dari Roh Kudus.
e) Merah Muda (Rose), adalah perlemahan dari violet
(ungu tua), lambang penyesalan dan pertobatan yang tertahan. Maksudnya,
sengsara boleh sementara waktu digantikan dengan senyuman dalam menyongsong
Natal dan Paskah. Digunakan pada Minggu adventus III (Gaudete) dan Minggu sengsara V (Laitare).
Minggu-minggu yang berhubungan dengan sukacita.
f) Hijau adalah
warna yang mensimbolkan pertumbuhan/perkenbangan. Hijau juga dikaitkan dengan
syukur, pemeliharaan, pengasuhan dan kehidupan.
g) Biru
adalah warna dari langit, kewibawaan, keagungan, dan pengharapan akan
kedatangan Kristus. Sebaliknya biru adalah warna dari langit, dan dalam liturgi
dikaitkan dengan puji-pujian Maria.
C.5. Tahun-Tahun Gereja
a) Advent
Adventus (bahasa latin) = ‘kedatangan’ istilah ini dulu
dipakai umum dalam Imperium Romawi untuk kedatangan Kaisar yang dianggap
sebagai dewa, kemudian dipakai oleh pengikut-pengikut Kristus untuk menyatakan
bahwa bagi mereka bukan kaisar, melainkan Kristus adalah Raja dan Tuhan.
Masa advent adalah masa konsolidasi spiritual dalam
rangka perayaan Kelahiran Kristus (Natal) dan harapan akan pemerintahan Allah
di masa depan (harapan eskhatologis). Harapan eskhatologis ini menekankan pada
kesediaan setiap individu, dan hal itu menjadi tema dari Adventus. Advent
adalah masa persiapan sebelum perayaan Natal, jadi puji-pujian pada masa Advent
selalu diibaratkan dengan puji-pujian para Malaikat. Hari minggu pertama dari
masa-masa Advent bukanlah awal dari masa perayaan natal. Perayaan Natal dimulai
pada saat Malam Natal (christmas Eve) dan berlanjut sampai dengan 12 hari masa
Natal (jadi dari tanggal 25 Desember – 5 Januari).
Warna umum yang dipakai selama masa Advent adalah warna
Ungu, yang dikaitkan dengan karya penyelamatan Yesus yang dilakukan dengan setianya. Tetapi dalam
GPM telah ditetapkan warna Biru yang melambangkan angkasa (simbol keagungan)
dipakai untuk masa Advent, yang melambangkan kewibawaan, keagungan, dan pengharapan
akan kedatangan Kristus, Yang menunjuk pada Kristus yang dalam tradisi Adventus
disebut sebagai Tuhan atas hari-hari hidup” (Dayspring, or source of day). Tetapi juga dikaitkan dengan Maria,
sehingga warna biru mengingatkan kita bahwa selama masa Advent gereja dan Maria
sama-sama menantikan masa melahirkan Yesus.
b) Natal dan Musim
Natal (12 hari setelah Malam Natal)
Kata Portugis ‘Natal’ ini berasal dari bahasa latin ‘Natalis’,
yakni Dies Natalis, yang berarti Hari Lahir. Masyarakat pra-kristiani dalam
imperium Romawi dahulu menggunakan istilah ini untuk kelahiran Dewa San Surya,
lengkapnya dies natalis invicti: hari kelahiran matahari yang tak terkalahkan.
Pengertiannya dihubungkan pula dengan penyembahan Kaisar kepada dewa seperti
matahari. Kaisar (abad ke-3) menetapkan perayaannya pada 25 Desember, demi
kehormatannya sendiri sebaga ‘tuhan’. Hari ini kemudian ’dikristianisasi’
sebagai dies natalis Yesus Kristus sebagai Matahari Kebenaran, Terang Dunia
yang sebenarnya, Raja alm semesta, Tuhan sanggup turun dari takhta-Nya.
Pembacaan Alkitab dalam musim Natal mengikuti 12 hari (berpuncak pada masa
ephifani) yang mengundang gereja untuk merefleksikan inkarnasi atau kenosisnya
Allah menjadi manusia; “Firman telah menjadi manusia, dan diam diantara kita
dan kita telah melihat kemuliaanNya …” (Yoh.1:1-14). Di dalam Kristus, Allah
memasuki sejarah manusia dan benar-benar mengambil bentuk sebagai manusia.
Warna tradisional untuk musim Natal adalah Putih, atau juga
keemasan sebagai simbol sukacita dan cahaya yang bersinar di dalam hari-hari
hidup manusia. Stola yang dipergunakan adalah stola putih, (selain itu stola
putih juga bisa dipakai pada masa Kamis Putih, Paskah, Kenaikan, dan
ibadah-ibadah khusus, seperti : Pernikahan, Kelahiran, HUT Organisasi/GPM, dan
Penabhisan).
c) Masa setelah
Ephifani
Masa Ephifani disebut sebagai hari-hari Ephifani
(Hari-Hari Penampakan Diri Tuhan); hari ketika Tuhan memberi kabar baik
mengenai Kristus kepada umat manusia. Pembacaan Alkitab dalam masa-masa ini
berusaha mengeksplorasi misi gereja di dunia. Tema dalam masa ini, termasuk
yang ditekankan dalam pembacaan Alkitab, akan terus berlanjut sampai
Pentakosta, jadi kedua musim ini biasanya disebut sebagai ”Waktunya/Masa Misi
Gereja”. Warna liturgis dalam kedua musim ini adalah hijau, sebagai simbol
pertumbuhan/kelahiran baru
d) 40 Hari (Puasa)
Yesus : Minggu Sengsara -
Dalam istilahnya disebut “lent”, yaitu waktu ketika gereja
mempersiapkan para “Katekhisan’ untuk dibaptis/sidi, dan menjadi bagian dari
tubuh Kristus atau warga gereja yang dewasa (dalam iman dan pengajaran iman).
Ini adalah juga masa persiapan atau pendidikan kepada jemaat secara
keseluruhan. Ujian iman secara pribadi dilakukan dalam masa-masa ini, seperti
melalui pendidikan (formal gereja), doa dan karya, hidup dalam kasih, dll., dan semuanya
dikaitkan dengan perjuangan Yesus selama 40 hari berpuasa di Padang Gurun.
Suatu proses ujian fisik dan psikhis, iman dan karya. Diharapkam dalam masa ini
umat menyadari dosanya, dan mengubah orientasinya kembali kepada Tuhan, baik
individu dan jemaat. Artinya ada komitmen untuk mengikuti Yesus dan berjalan di
jalan-Nya.
Warna yang digunakan dalam masa ini adalah warna Ungu,
mengandung makna Pertobatan, duka, dan keagungan kasih Allah ditengah jalan
derita, dan ini dikaitkan dengan ritus Baptisan dan Peneguhan Sidi. Stola yang
dipergunakan dalam masa ini adalah stola ungu (Minggu Sengsara 1-7, juga untuk
masa Rabu Abu, Jumat Agung, dan ibadah Kedukaan). Khusus untuk minggu Laetare,
digunakan stola merah muda
e) Minggu Khusus
Selama minggu khusus/kudus, jemaat diingatkan untuk
berjalan mengikuti tapak-tapak Yesus, seperti ketika Ia masuk ke Yerusalem
(dalam pesta Palma), dan sampai Perjamuan Akhir (Kamis Putih), Kematian Yesus
di Salib (Jumat Agung). Merah adalah warna para martir, dan warna ini
dipakai pada saat pesta Palma (Minggu
Sengsara) selama tiga hari dalam Minggu suci. Pada Kamis Putih dipakai warna
putih atau keemasan sebagai simbol kesukacitaan gereja yang diundang ke dalam
pesta Jamuan Tuhan. Tetapi pada akhir perayaan Kamis Putih, seluruh ornamen di
dalam gereja diubah; membentuk meja Perjamuan Kudus. Dan kemudian setelah
Jumaat Agung, gereja harus dikosongkan laksana kubur yang kosong. Pada saat
Jumaat agung, biasa digunakan warna hitam (tapi GPM tidak memberlakukan warna
hitam diganti dengan warna Ungu) atau juga warna merah. Namun warna merah di
sini lebih pekat daripada merah di masa Pentakosta (tidak diberlakukan untuk
GPM).
f) Paskah dan
Pentakosta
Seperti diceritakan dalam Matius 28:7, perempuan-perempuan
terkejut ketika datang pagi-pagi ke kuburan Yesus, dan Malaikat berkata kepada
mereka: “Yesus sudah bangkit dari kematian-Nya”. Kata-kata Malaikat itu
menimbulkan rasa sedih yang mendalam (ratapan), apalagi ketika mereka menemui kubur
itu kosong, dan kemudian pergi untuk memberi kabar kepada para murid bahwa
Yesus yang mati disalibkan itu sudah bangkit.
Musim dari Paskah sampai Pentakosta juga sering disebut “the Great Fifty Days”, sebuah tradisi
yang diinspirasi oleh tradisi Yahudi, yaitu 50 hari Paskah sampai Tahun
Sabath-perayaan mengenang “Pemberian” Torah kepada Musa.
Warna liturgi dalam musim ini adalah putih dan keemasan.
Ketika musim ini berakhir di Minggu Pentakosta, warna putih diganti dengan warna merah. Warna
mengingatkan jemaat kepada api, sebagai simbol roh Kudus, darah, cinta kasih,
pengorbanan, dan kekuatan. Pada saat pentakosta Roh Kudus dicurahkan kepada
semua manusia dari berbagai suku bangsa, dan budaya. Hari Minggu pertama
setelah Pentakosta, dirayakan sebagai hari Trinitas, dan warna putih dan
keemasan dipakai kembali.
g) Minggu setelah
Pentakosta
Masa terpanjang dalam kelender liturgi adalah masa setelah
Pentakosta, yaitu “Time of church”
(Masa misi gereja) yang dimulai pada hari minggu setelah Epifani. Masa ini
menekankan pada misi gereja, dan penggunaan warna pada masa ini adalah warna
Hijau, sebagai simbol pertumbuhan. Selama musim ini, pembacaan Alkitab
dilakukan secara berganti, dari PL dan PB, dengan topik atau tematis yang menekankan tanggung jawab para murid dalam
membritakan Injil atau menyampaikan kabar baik, dan melayani sesama manusia.
h) Perayaan
Gerejawi Lainnya
Warna merah pada hari Pentakosta bisa dijadikan juga warna
dalam hari Reformasi, 31 Oktober atau juga Hari Ulang Tahun Gereja (seperti HUT
6 September) sedangkan warna putih dan keemasan, juga bisa dipakai untuk
perayaan gerejawi lainnya seperti pada “All
Saints Day” pada 1 November. Warna
alternatif dalam hari-hari besar gerejawi juga warna hijau.
C.5. TATA RUANG LITURGIS GPM
(1) Di bawah ini, dikemukakan standarisasi sebuah
bagan tata ruang liturgi yang menempatkan suatu penataan posisi peralatan
ibadah secara liturgis (mimbar besar/Pulpil, altar, bejana baptisan, mimbar
kecil/ambo, tempat duduk, paduan suara dan majelis, tempat duduk jemaat dan
lain-lain). Dengan demikian diharapkan agar dengan penataan posisi ini, maka
segala kebiasaan yang tidak sesuai dapat segera dilakukan penyesuaian
(2) Adapun gambar tata-ruang liturgi sebagai
berikut:
KETERANGAN GAMBAR
1.
Mimbar
besar (Pulpit)
2.
Meja
Persembahan (Holy Communion Table)
3.
Mimbar
untuk Prokantor (pemimpin nyanyian umat dan paduan suara)
4.
Mimbar
Kecil (Ambo, Lectern) untuk Lektor (pembaca Alkitab)
5.
Bejana
Baptisan (Baptismal font)
6.
Tempat duduk Paduan Suara (Choir
Stalls)
Juga dapat disediakan tempat untuk pemusik (Keyboard / Organis, dll)
7.
Tempat duduk Majleis Jemaat dan
Kolektan (Sedilia)
8.
Tempat duduk raja (Kepala Desa)
dan Saniri Negeri (hanya untuk mengakomedir jemaat-jemaat yang sudah
menyediakan tempat duduk khusus bagi raja/kepala desa dan saniri)
9.
Panggung Gereja (Rostrum)
pada bagian chancel
10.
Tempat duduk umat (pew
berasal dari Bahasa Inggris yang artinya bangku gereja) bagian nave (=
ruang tempat duduk warga jemaat)
11. Peti Persembahan (offering
box)
12. Layar Portal
(dinding/sekat pada gerbang pintu gereja)
13. Portal (Pintu Gerbang)
14.
Balkoni bagian portal. Juga dapat
menjadi tempat untuk terompet/Suling
15. Tempat menyimpan
peralatan Perjamuan (Tabernakel)
16. Pintu masuk dari ruang
konsistori ke ruang ibadah
17. Ruang konsistori (Consistorium)
18. Pintu samping gedung
gereja antara Chancel dan nave.
Secara garis besar Tata Ruang Gereja di GPM terdiri atas empat (4) bagian
besar:
I. Ruang
Chancel meliputi
semua symbol pemberitaan yang menempati lostru (pusat lingkaran ibadah), a.l. :
Mimbar Besar (Pulpit); Meja Persembahan (Holy Communion Table); Mimbar Untuk
Prokantor (Pemimpin nyanyian umat dan paduan suara); Mimbar Kecil (Ambo,
Lectern) untuk Lector (Pembaca Alkitab); Bejana Baptisan (Baptismal Font);
Tempat duduk Paduan Suara (Choir Stalls) juga tempat musik; Tempat duduk
Majelis dan kolektan.
II. Ruang
Nave mencakup
bangku-bangku gereja yang di tempati oleh warga gereja (jemaat).
III. Ruang Portal mencakup Pintu Gerbang, Layar Portal dan
Balkon bagian portal
IV. Ruang Konsistori; tempat rapat / pertemuan atau ruang
bicara para pelayan (majelis Jemaat)
(3) Beberapa hal yang perlu
dijelaskan, antara lain sebagai berikut:
3.1 Mimbar Besar (Pulpit) dan Mimbar Kecil
(ambo, lectern):
3.1.1 Mimbar besar
(Pulpit) menjadi pusat (center symbol) dalam ibadah Kristen
Protestan (berbeda dengan Gereja Khatolik yang berpusat pada Altar). Secara
teologis, mimbar besar yang dibuat cukup tinggi mengartikan bahwa firman itu
datang dari “Atas” (dari pihak Tuhan Allah Yang Maha Tinggi).
3.1.2 Mimbar kecil
digunakan sebagai tempat pembacaan Alkitab (ambo, lectern) atau Warta
Jemaat.
3.1.3 Kain penutup
mimbar besar (antependium) harus disesuaikan dengan warna-warna dan
simbol-simbol liturginya dengan warna-warna dan simbol-simbol hari-hari raya
liturgi atau tahun Liturgi. Simbol yang
digunakan pada kain penutup mibar besar dikreasikan sesuai dengan simbol-simbol
oikumenis gerejawi (misalnya: salib, hati, jangkar, perahu oikumene, tangan
Allah, dan lain-lain).
3.1.4 Bentuk mimbar
dan ornamennya dapat dikreasikan sesuai dengan situasi kontekstual (yang sesuai
dengan bentuk-bentuk dan ornamen budaya daerah Maluku atau Jemaat setempat).
Sedangkan ukuran mimbar besar, pada prinsipnya disesuaikan dengan ukuran yang
seimbang dan serasi dengan luas gedung gereja, serta ukuran tinggi yang
disesuaikan dengan posisi pandang jemaat (tidak terlalu tinggi sehingga menyulitkan pandangan jemaat di
bagian depan; tidak terlalu rendah sehingga menyulitkan pula pandangan jemaat
di bagian belakang).
3.1.5 Yang perlu
disediakan di mimbar besar adalah: Alkitab, buku tata ibadah dan buku-buku
nyanyian jemaat.
3.1.6 Peralatan
pengeras suara yang dipakai di mimbar ditempatkan pada posisi yang tidak
menghalangi pandangan antara pelayan dan jemaat.
3.1.7 Peralatan
lampu dapat disediakan dengan catatan alat penerang tersebut tidak mengganggu
pandangan pelayan maupun jemaat.
3.1.8 Di atas
mimbar besar maupun kecil (asal tidak menghalangi pemimpin ibadah), dapat
ditaruh bunga yang memiliki bentuk, warna dan ukuran yang indah dan serasi.
Sedapat-dapatnya warna bunga pun disesuaikan dengan liturgi (warna stola yang
digunakan).
3.1.9 Prinsip
penggunaan Tangga Mimbar bukan pada jumlah (dua atau satu tangga), melainkan
pada pengfungsiannya. Kalau ada dua tangga, maka prosesi naik dan turun pelayan
dapat menggunakan keduanya (naik dari arah kanan mimbar-menghadap jemaat, turun
dari arah kiri mimbar-menghadap jemaat).
3.2. Meja
persembahan
3.2.1 Pada
dasarnya, Meja Persembahan bermakna
perayaan perjamuan kudus (Eucharisty). Meja persembahan melambangkan
persekutuan jemaat yaitu tubuh Kristus.
Meja Persembahan mengingatkan baik pada tempat persembahan korban dalam
Perjanjian Lama maupun pada meja perjamuan Paskah Yesus dengan murid-muridNya
pada malam sebelum ia disalibkan. Selain itu, Meja Persembahan biasanya dihias
dengan simbol-simbol lain seperti Salib, Alkitab, Lilin, Bunga dsb.; Dalam
arsitektur gereja, Meja Persembahan sering ditempatkan langsung di depan mimbar
besar (pulpit) untuk menekankan kesatuan antara sakramen (perjamuan
kudus/altar) dan firman (khotbah/ mimbar)
3.2.2 Di atas Meja
Persembahan diletakkan sebuah salib yang
diapit dengan dua buah lilin (yang
tidak dinyalakan) dan tanggo persembahan bisa diletakkan di atas altar.
3.2.3 Simbol salib
bermakna pengorbanan Kristus yang menderita, mati dan menang atas kematian dan
dosa. Dua lilin itu melambangkan kemenangan Kristus atas kematian (maut) dan
dosa tersebut. Kedua lilin itu bisa dinyalakan sesuai waktu-waktu tertentu
dalam mengungkapkan unsur-unsur liturgi. Simbol-simbol ini lazimnya diletakan
pada Minggu-minggu sengsara (Salib) dan Minggu-minggu Advent dan Natal (Lilin).
3.2.4 Kain penutup
altar (Parament) harus disesuaikan degan warna-warna Hari Raya Gereja
(bandingkan warna Stola).
3.2.5 Hiasan bunga
boleh diletakkan di atas altar, namun tidak boleh menghalangi penampakan simbol
salib dan lilin-lilin itu. Oleh karena itu, bentuk, warna dan ukuran tersebut
harus baik, indah dan serasi. Sedapat-dapatnya warnanya pun disesuaikan dengan
warna Liturgis (bandingkan warna stola).
3.3 Bejana
Baptisan:
3.3.1 Bejana
Baptisan (dan alat-alat Perjamuan Kudus) ditempatkan di dekat meja persembahan,
karena merupakan bagian dari akta sakramental. Tempatnya di samping ambo
atau lectern (Mimbar Kecil). (Catatan: karena itu, alat-alat Perjamuan
Kudus sesuai gambar Tata Ruang di atas yang berada di ruang konsistori (no. 15)
bisa dipindahkan kedepan dekat mimbar
kecil.
3.3.2 Bentuk bejana
bisa disesuaikan dengan bentuk-bentuk kultural / kontekstual Maluku/Maluku
Utara
3.4 Tempat Duduk
Paduan Suara/Kantoria/Singers/ Pemusik :
3.4.1 Tempat
Kantoria (kantoris) di dekat mimbar/posisi berdiri prokantor (pemimpin pujian)
dan tempat pemusik.
3.4.2 Paduan suara
bisa ditempatkan di bagian kiri atau kanan mimbar, dan mengambil posisi
bernyanyi menyamping.
3.4.3 Apabila
jumlah Paduan Suara melebihi posisi duduk yang tersedia, maa posisi duduk
maupun bernyanyi disesuaikan dengan tema nyanyian (Mis. Apabila tema lagu yang
dinyanyikan mengekspresikan sikap jemaat untuk memuji/bersyukur/memuliakan
Tuhan, maka posisinya menghadap mimbar besar; sebaliknya apabila tema lagu
mengekspresikan suatu pemberitaan dari Tuhan kepada Jemaat, maka posisinya
dapat menghadap jemaat tetapi tidak membelakangi mimbar). Penjelasan yang sama
berlaku pula bagi kelompok penyanyi lainnya, seperti soloist/duet/trio/vocal
group/ dan lainnya.
3.4.4 Posisi duduk
pemusik dalam jumlah yang banyak (mis. Paduan terompet/suling) dapat
disesuaikan dengan ruang yang tersedia. Artinya bila dibagian depan sudah tidak
memungkinkan, maka posisi mereka dapat dibagian belakang jemaat atau balkon.
3.5 Tempat Duduk Majelis Jemaat, Kolektan, dan Raja/Saniri
Negeri:
3.5.1 Tempat duduk
Majelis dan kolektan boleh di sebelah kiri atau kanan mimbar besar, tanpa
mengganggu Paduan Suara/ Kantoria yang sudah tetap.
3.5.2 Tempat duduk
raja (kepala Desa) dan saniri negeri (khusus bagi jemaat-jemaat yang punya)
bisa disesuaikan penempatannya menurut cara dan kebiasaan dalam gereja/negeri
setempat. Tempat duduk raja ini,
sebenarnya tidak perlu ada. Alasannya, semua umat di hadapan Tuhan sama, tidak
ada yang lebih tinggi atau rendah. Karena itu, bagi jemaat-jemaat yang akan
membangun gedung gereja baru tidak perlu menyediakan tempat khusus bagi
Raja/Kepala Desa dan saniri negeri.
D. TATA GERAK
D.1. Tepuk tangan
:
Dalam ibadah, tepuk tangan adalah salah satu ungkapan dalam memuji
dan memuliakan Tuhan dengan sukacita. Ketika tepuk tangan dilakukan sambil
bernyanyi, maka fungsinya sebagai ekspresi musikal karena dilakukan secara
ritmik. Namun bila tepuk tangan yang dilakukan secara spontan sebagai sikap
respons umat atas pujian yang dilantunkan PS/VG/Solo/Duet, maka bermakna memberi
apresiasi dan penghargaan terhadap pujian yang telah dinyatakan bagi Tuhan, dan
bukan memberi pujian kepada si penyanyi.
D.2 Berdiri saat persembahan dibawa ke meja persembahan :
a.
Posisi Kolektan
Posisi berdiri kolektan pada saat mengambil maupun meletakan
kantong persembahan adalah membelakangi umat. Itu berarti posisi tetap
menghadap ke mimbar (pulpit) sebagai pusat pemberitaan.
b.
Umat.
Umat berdiri saat persembahan dibawa ke meja persembahan sebagai
tanda kesiapan umat untuk menjadi persembahan yang hidup yang berkenan kepada
Allah (Rom 12 :1). Oleh sebab itu doa persembahan ditempatkan setelah seluruh
persembahan dikumpulkan, diantarkan oleh kolektaan dan diletakan pada meja persembahan
c.
Majelis bertugas
:
Majelis yang bertugas cukup satu orang … untuk menerima
persembahan kemudian Berdoa
.
E.
BEBERAPA
CATATAN TAMBAHAN
E.1 Seluruh tata ruang berhubungan dengan fungsinya dalam ibadah. Kalau
nyanyian yang dinyanyikan memiliki efek horizontal maka PS harus menghadap ke
jemaat tetapi tidak membelakangi mimbar. Sedangkan kalau bermakna vertikal
(pujian/ pengakuan kepada Tuhan), maka
posisi berdiri penyanyi menghadap ke mimbar.
E.2 Baptisan atas
anak-anak yang orangtuanya belum menikah, maka yang bertanggungjawab mengantar
anak adalah orang tua saksi dan didampingi oleh orangtua kandung yang ada.
E.3 Baptisan
Dewasa : kalau ada kasus baptisan dewasa, maka dia harus ikut katekisasi dulu. Kalau anak yang dibaptis maka didampingi oleh orang tua saksi. Jadi kalau
orang dewasa yang mau dibaptis maka dia harus ikut katekisasi lalu mengaku
iman, diteguhkan (sidi) baru kemudian dibaptis.
E.4 Bagi orang dewasa yang beralih
agama dan mau dibaptis, maka terlebih dahulu harus mengikuti katekisasi (khusus untuk alih
agama), mengaku iman (diikuti dengan pembacaan Surat Pernyataan Kesediaan Alih
Agama di atas kertas bermeterai), diteguhkan (sidi) baru kemudian dibaptis.
E.5 Tentang Saksi
pernikahan/baptisan:
(a)
Diperkenankan
berasal dari Gereja lain (di luar GPM) atau jemaat/klasis lain (dalam lingkup
GPM) namun dengan menyerahkan Surat Keterangan dari Jemaat/Gereja asal sebelum
penggembalaan.
(b)
Saksi
(laki-laki dan/atau perempuan) pada hakikatnya mewakili seluruh anggota jemaat.
(c)
Kehadiran Saksi tidak
dapat diwakilkan.
E.6 Tentang ketentuan warga jemaat/mantan pelayan khusus/pegawai
organik gereja yang meninggal, tidak diharuskan
disemayamkan di gedung gereja. Penetapannya disesuaikan dengan konteks
setempat dengan mendapat pertimbangan dari pihak Klasis/Sinode.
E.7 Stola
Merah muda merupakan warna stola yang baru disetujui untuk melengkapi warna
stola yang telah ada selama ini. Adapun ikon pada stola tersebut digambarkan
pada lampiran di bawah ini.
E.8 Warna Liturgi untuk semua
perjamuan kudus adalah Ungu, sehingga semua kelengkapan liturgi temasuk stola
dan kain penutup mimbar dan meja perjamuan semuanya ungu.
F.
PENUTUP
Demikian beberapa penjelasan secara prinsipil maupun
teknis terkait dengan Liturgi GPM. Semoga bermanfaat bagi pelayanan Gereja kita
ke depan.
Lampiran contoh Ikon Stola Merah Muda
Gambar
1 : logo/ikon stola salib bermotif lola
(posisi di bagian kanan stola merah muda)
Catatan: 1) Stola Merah Muda bermakna Kesukacitaan, dan
dipergunakan pada hari Gerejawi Minggu
Adventus ketiga dan Minggu Sengsara Kelima.
2) Ukuran panjang logo = 15 cm. lebar disesuaikan
Gambar 2: Logo/Ikon stola lilin bermotif Taripang (posisi
di bagian kiri stola merah muda)
Catatan: 1) Stola Merah Muda bermakna Kesukacitaan, dan
dipergunakan pada hari Gerejawi Minggu
Adventus ketiga dan Minggu Sengsara Kelima.
2) Ukuran panjang logo = 15 cm. lebar disesuaikan
MAKNA LITURGIS BUNYI LONCENG GEREJA
PENGANTAR
‘Lonceng gereja sebagai tanda suara Tuhan yang memanggil
itu penting dan sacral.
Karena itu para Tuagama setia menjaganya; setia menunggu
waktu untuk ‘toki akang’;
Mereka pakai ‘baju itang’ lalu sumbayang di dalang toreng,
untuk membunyikannya.
Itu akta liturgis, dan tuagama melakukan akta itu sebagai
akta kehidupan mereka dan jemaat.
Akta kehidupan gereja ini (GPM).’
(Pdt.
Dr. John Chr. Ruhulessin, Ketua Sinode GPM 2005-2010,2010-2015;
pernyataan
tanggal 29 Januari 2016)
Ibadah Gereja adalah suatu
akta liturgis. Sebagai akta liturgis, maka lonceng gereja menjadi salah satu
bagian dari penyelenggaraan ibadah (ritual) yang utuh. Dalam tradisi liturgis,
sejak abad VI dan IX, lonceng gereja telah menjadi bagian dari ibadah gereja,
dan bukan saja sebagai instrument atau perabot gereja tetapi sebagai salah satu
peralatan liturgy gereja (PLG) yang vital.
Lonceng gereja dibunyikan
sebagai symbol dari suara Tuhan yang memanggil gereja (eklesia) untuk datang
beribadah. Gereja dalam arti itu adalah ‘umat yang dipanggil’. Karena itu umat
yang beribadah adalah gereja yang menjawab panggilan Tuhan. Tuhan memanggil
mereka untuk berkumpul dan membentuk jemaatNya sebagai jemaat yang beribadah.
Jadi Jemaat yang datang
beribadah (di gereja atau rumah jemaat atau tempat lain yang ditetapkan),
menjawab panggilan Tuhan. Kebiasaan jemaat-jemaat GPM dalam hal ini:
-
Lonceng I
: Jemaat mempersiapkan diri untuk datang beribadah. Mereka menjawab Tuhan
dengan jalan mempersiapkan diri. Karena itu mereka ‘berhenti’ dari segala
aktifitasnya, dan bersiap untuk beribadah.
-
Lonceng II
: Jemaat menjawab suara Tuhan sambil berjalan menuju ke tempat ibadah/Gereja/Rumah
Tuhan. Ini menggambarkan bahwa gereja yang beribadah adalah gereja yang terus
berjalan (ecclesia via-torium).
Ibadah gereja itu tidak statis. Berpusat pada Kristus dan mengarah ke dunia.
-
Lonceng
III : Tuhan hadir di dalam ibadah Jemaat dan berjumpa dengan umat yang telah
menjawab panggilannya.
Bagi mereka yang tidak
datang beribadah, mereka tidak boleh memisahkan diri dari ibadah jemaat itu.
Caranya ialah mereka harus membangun persekutuan doa, sebab dengan begitu
mereka menjadi bagian dari Jemaat secara utuh. Dalam ibadah-ibadah seperti
Wadah Pelayanan Perempuan, ketika mendengar lonceng gereja, semua jemaat
beribadah. Laki-laki gereja tidak menghadiri ibadah itu, tetapi bukan berarti
mereka tidak beribadah. Di rumah-rumah mereka, kaum laki-laki, pemuda dan
anak-anak membangun persekutuan doa, dan dengan demikian mereka terlibat
bersama dengan anggota wadah perempuan yang sedang beribadah.
JUMLAH DAN MAKNA LITURGIS
LONCENG GEREJA
Jenis
Ibadah
|
Jumlah
Bunyi
|
Makna
Liturgis
|
1.
Ibadah Minggu
|
||
·
Lonceng I
|
30
|
Ibadah jemaat adalah ibadah
Trinitarian yang berpusat pada Yesus, dan didasarkan pada nama Bapa, Anak dan
Roh Kudus. Karena itu jumlah 30 kali pada lonceng 1 menunjuk pada usia Yesus
saat pertama kali tampil di Galilea untuk memulai karya pelayananNya (Markus
1:14-15). Awal Yesus tampil menjadi momentum awal Ibadah gereja, bahwa ibadah
gereja (ritual) berintikan pemberitaan mengenai Yesus Kristus.
|
·
Lonceng II
|
21
|
Karena ibadah berpusat kepada Yesus,
maka ibadah gereja adalah pemberitaan tentang kematian dan kebangkitan Yesus.
Di Salib, Yesus menyampaikan 7 ucapan, sebelum Ia mati. Dan pada hari ketiga,
Yesus bangkit dari kematian. Angka 21 adalah pembulatan 7x3; 7 Perkataan
Yesus di Kayu Salib, dan kebangkitan Yesus pada hari ke-3.
|
·
Lonceng III
|
3
|
Sebagai ibadah Trinitarian, angka 3
menunjuk pada penahbisan ibadah demi nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Di sisi
lain, hal mana menunjuk pada masa kebangkitan Yesus (3 hari). Karena itu hari
minggu juga disebut hari kemenangan/Paskah.
|
2.
Ibadah Unit, Wadah Pelayanan, SM/TPI, AMGPM, Kunci Usbu, Gereja Muda
|
15
|
Ibadah umat/jemaat adalah ibadah para
murid Yesus. Karena itu ibadah adalah juga wahana pemuridan. Karena itu,
ibadah ini menunjuk pada persekutuan para murid Yesus. Angka 15 menunjuk pada
12 murid Yesus, ditambah 3, yang menunjuk pada ibadah Trinitarian, dalam nama
Bapa, Anak dan Roh Kudus.
|
3.
Lonceng Meninggal Dunia
|
7
|
Lonceng pada saat seseorang anggota
jemaat meninggal dunia bukan pemberitahuan bahwa ‘ada orang meninggal’,
melainkan ajakan untuk masuk dalam persekutuan doa, agar Tuhan memberkati
saudara yang meninggal dan keluarganya. Total bunyi 7 kali bermakna bahwa
anggota jemaat yang meninggal telah melaksanakan tugas panggilannya semasa
hidup dengan sempurna. Bahwa ia sudah diselamatkan Tuhan dan mewarisi hidup
kekal. Tuhan yang memangglilnya adalah Tuhan yang menyelamatkannya.
|
4.
Lonceng Ibadah Pemakaman
|
7
|
Ibadah pemakaman adalah salah satu
jenis ibadah jemaat. Angka 7 dimaknai seperti pada lonceng orang meninggal
dunia. Karena itu jemaat dipanggil untuk datang beribadah.
|
5.
Lonceng Ibadah Pemberkatan Nikah
|
12
|
Angka 12 menunjuk pada jumlah 12 murid
Yesus. Karena itu rumah tangga adalah bagian dari tugas kesaksian murid
Yesus.
|
6.
Lonceng Katekhisasi
|
12
|
Angka 12 menunjuk pada jumlah 12 murid
Yesus. Karena itu katekhisasi adalah proses pendidikan para murid Yesus.
|
7.
Lonceng Ibadah Sidang Klasis/Jemaat di luar Hari Minggu
|
30
|
Sama dengan Lonceng I Ibadah Minggu
|
8.
Lonceng Ibadah Persiapan Natal
(24
Desember)
|
||
·
Lonceng I
|
30
|
Sama dengan Lonceng I Ibadah Minggu
|
·
Lonceng II
|
24
|
24 menunjuk pada tanggal 24 Desember
|
·
Lonceng III
|
3
|
Sama dengan Lonceng III Ibadah Minggu
|
9.
Lonceng Ibadah Natal
|
||
·
Lonceng I
|
30
|
Sama dengan Lonceng I Ibadah Minggu
|
·
Lonceng II
|
25
|
25 menunjuk pada tanggal 25 Desember
|
·
Lonceng III
|
3
|
Sama dengan Lonceng III Ibadah Minggu
|
10.
Lonceng Ibadah Akhir Tahun
|
||
·
Lonceng I
|
30
|
Sama dengan Lonceng I Ibadah Minggu
|
·
Lonceng II
|
12
|
12 menunjuk pada jumlah bulan dalam 1
tahun
|
·
Lonceng III
|
3
|
Sama dengan Lonceng III Ibadah Minggu
|
11.
Lonceng Ibadah Tahun Baru
|
||
·
Lonceng I
|
30
|
Sama dengan Lonceng I Ibadah Minggu
|
·
Lonceng II
|
12
|
12 menunjuk pada jumlah bulan dalam 1
tahun
|
·
Lonceng III
|
3
|
Sama dengan Lonceng III Ibadah Minggu
|
12.
Lonceng Ibadah Perjamuan Kudus
|
||
·
Lonceng I
|
30
|
Sama dengan Lonceng I Ibadah Minggu
|
·
Lonceng II
|
12
|
12 menunjuk pada jumlah 12 murid Yesus
|
·
Lonceng III
|
3
|
Sama dengan Lonceng III Ibadah Minggu
|
13.
Lonceng Ibadah Paskah
|
||
·
Lonceng I
|
30
|
Sama dengan Lonceng I Ibadah Minggu
|
·
Lonceng II
|
12
|
12 menunjuk pada jumlah 12 murid
Yesus, sebagai saksi kebangkitan, dan gereja terus bersaksi tentang Yesus
Yesus yang bangkit
|
·
Lonceng III
|
3
|
Sama dengan Lonceng III Ibadah Minggu
|
Catatan:
-
Anak
meninggal karena keguguran tidak perlu membunyikan lonceng
-
Sikap
Tuagama dalam membunyikan lonceng diawali dengan berdoa dan bersikap yang
baik dan sopan
|
Komisi Liturgi Sidang
Sinode ke-37
1 komentar:
Mengenai bertepuk tangan dijemaat Gpm Bethesda air salobar Klasis pulau Ambon dilarang padahal dalam penjelasan tata lturgi suda di jelaskan.bertepuk tangan memberi respon kepada PS/VG..yang memuji Tuhan.
Posting Komentar